Keadaan terus memburuk sampai kemudian Belanda menetapkan Banten dan Lampung sebagai daerah jajahannya. Sebagai Sultan Banten diangkatlah putra mahkota dengan gelar Sultan wakil pangeran Suramanggala (1808-1809). Walaupun masih bergelsy Sultan, namun kekuasaannya tidak lebih dari seorang pegawai Belanda.
Meski kekuatan Belanda berhasil mencengkeram kehidupan masyarakat Banten, namun urusan pendidikan agama tetap prioritas. Apalagi di keluarga Nawawi. Sejak umur lima tahun, ayahnya yang juga seorang Ulama di Tanara, langsung memberikan pelajaran agama dasar kepadanya.
Dari sang ayah, Nawawi sudah diajari dasar-dasar Islam dan Bahasa Arab. Menginjak remaja, Nawawi kemudian belajar agama ke sejumlah tempat di Jawa.
Mengingat pesantren ayahnya di Tanara membutuhkan kehadirannya, Nawawi kemudian membantu sang ayah di pesantren. Dengan keilmuan dan karakter yang di miliki, nama Nawawi begitu cepat menyebar di Banten sehingga banyak santri yang datang ke pesantren ayahnya.
Menjelang Musim haji, Nawawi berniat melaksanakan ibadah haji. Konon, usia Nawawi saat itu masih sangat muda. Berangkatlah ia ke Makkah hingga selesai merampungkan ibadah haji. Rupanya, setelah selesai berhaji, Nawawi tertarik untuk menetap di Makkah guna menuntut ilmu dari para Masyaayikh.
Sumber: MANAWA (Majmu'ah Nawawi al-Bantani)
Bersambung.....