Oleh: Muhammad Mas Davit Herman Rudiyansah*
tegursapanews - Sensorik perekonomian negara Indonesia sangat di perihatinkan dalam suasana ketidakpastian secara global dunia, sehingga mengakibatkan dinamika pertumbuhan perekonomian melaju dengan sistem melambat. Hal ini sangat dikhawatirkan secara bersama-sama bahwa kelambatan sistem pertumbuhan perekonomian yang dapat mengakibatkan dinamika ke arah titik terendah yang disebut grafik resesi perekonomian.
Secara publik hal ini tidak lain yang di sampaikan dari berbagai lembaga secara internasional seperti Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.
IMF pada April 2023 telah melakukan revisi ke atas pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 4,8% menjadi 5% untuk tahun 2023, dan akan meningkat 5,1% pada 2024. Sementara itu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 mencapai 4,9%, hal ini akan stagnan hingga 2024.
Sebagai perekonomian Indonesia di dalam dunia, harus menyakini bahwa Indonesia tidak akan mengalami dinamika resesi perekonomian dan kini tidak seoptimisasi yang dibayangkan IMF dan Bank Dunia.
Dengan sirkulasi rumus dalam menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) yakni: C + I + G + (X-M). Hal ini merujuk suatu keterangan tersebut maka C mengartikan konsumsi rumah tangga, I artinya investasi, G merupakan konsumsi negara dan X adalah ekspor dikurangi M yakni impor.
Perlu diketahui bahwa Produk Domestik Bruto merupakan total nilai produksi dan jasa yang dihasilkan semua orang atau perusahaan dalam satu negara, termasuk nilai tambah dalam kurun waktu tertentu yang biasanya satu tahun.
Bank Indonesia (BI) dengan katagori belum punya fasilitas ruang dalam menurunkan suku bunga. Kini Bank Sentral Amerika Serikat (AS) diprediksi masih belum akan menurunkan suku bunga, di sebabkan adanya inflasi yang tinggi.
Peningkatan suku bunga yang masih tinggi ini, sangat berdampak pada investasi yang kemungkinan diprediksi rendah atau melemah. Kini dapat dilihat dari realisasi pada kuartal III terakhir. Dalam sisi fiskal, hingga semester I-2023 Kementerian Keuangan mencatat APBN mengalami surplus sebesar Rp 152,3 triliun. Surplus tersebut berasal dari pendapatan negara yang sebesar Rp 1.4079 triliun serta belanja negara yang mencapai Rp 1.254,7 triliun pada Januari-Juni 2023.
Bilamana pemerintah mengharapkan dengan nilai surplus yang diiringi dengan keseriusan yang disebut kontraksi. Maka negara menerima lebih besar dibandingkan apa yang telah dikeluarkan.
*Alumnus Fak Ekonomi Unsuri Surabaya