tegursapanews - Dalam buku yang berjudul "Memorandum Tawaf Di Bumi Sriwijaya Dari Ranah Brawijaya", sekilas kita bahas tentang aneka ragam bentuk Sadakah sebagai Pilar Ke-tiga Dari Pancasila Islam, yaitu 1. Syahadat, 2. Salat, 3. Sadakah, 4. Safari dan 5. Siyam. Rumusan ini reformulasi dari qaul ulama tentang 5 macam Rukun Islam.
Status ibadah Sadakah dalam Islam terbagi 2 macam, yaitu Sadakah Immaterial dan Sadakah Material. Adapun sadakah material istilahnya dalam buku fikih Islam disebut beraneka ragam menurut ketetapan tentang jumlah, waktu, tempat dan alamat pemberiannya.
Istilah yang populer di tengah masyarakat Islam sejak zaman nabi dan para sahabat sampai sekarang, yaitu Sadakah disebut Infaq, Zakat, Wakaf, Waris, Mahar, Dam, Hibah, Fitrah, Hadiah, Qurban, Akikah, Kafarat dan sebutan istilah yang lainnya termasuk status Pajak yang ditetapkan dalam UU dalam kehidupan umat bernegara dan berbangsa.
Kita membaca keterangan dari Pn Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, bahwa nilai APBN pada tahun 2023 sebanyak Rp 3.121 Triliun. Konon APBN tersebut bersumber dari Pajak sebanyak 70 persen. Pajak yang ditetapkan UU yang masuk ke APBN bersumber dari jenis
1. Pajak Penghasilan (PPh),
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
3. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM),
4. Bea Materai
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan.
Kita sebagai warga negara yang berstatus sebagai ASN, pada saat menerima gaji bulanan dari kantor dipotong sebanyak 15 persen. Ini yang disebut PPh. Kemudian ketika kita bayar rekening PLN setiap bulan dikenakan PPN sebanyak 11 persen. Kemudian setiap tahun kita diwajibkan membayar PBB di kantor bank.
Sebuah ilustrasi, ketika kita makan di restoran seperti pengalaman kita menikmati Menu Bebek Sinjay di Bangkalan Madura bersama tamu dari Jambi pada bulan Oktober 23 yang lalu. Ketika kita bayar di kasir, kita dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebanyak 11 persen. Uang pajak tersebut masuk ke dalam APBD, tidak masuk ke dalam APBN.
Selama ini kita melihat warga kampung yang punya kebun yang menghasilkan bebuahan, seperti buah Duku, Durian, Rambutan, Nangka, Pisang dan aneka ragam buah yang lainnya. Tampaknya mereka itu tidak terkena wajib pajak pada saat bebuahan tersebut dijual di pasar tradisional.
Masalah status pajak masuk dalam kelompok Sadakah. Hal tersebut indikasinya seperti yang diatur dalam UU tentang Sadakah Zakat, bahwa bukti pembayaran kewajiban Zakat di lembaga nasional Amil Zakat, seperti di kantor Lembaga Yayasan Dana Sosial Al-Falah {YDSF) Surabaya yang menghimpun Uang dari Sadakah Zakat.
Status kuitansi sebagai bukti pembayaran Sadakah zakat, bila dilampirkan dalam pembayaran pajak tahunan di kantor pajak. Jumlah nilai uang tagihan akan dikurangi sebanyak nilai pembayaran Sadakah Zakat di lembaga Sadakah Zakat Nasional. Misalkan wajib bayar pajak tahunan Rp 5 juta, dengan melampirkan kuitansi bayar zakat Rp 3 juta, nilai uang yang disetorkan ke kantor pajak hanya sebanyak Rp 2 juta.
Kemudian kadang timbul masalah negatif di kantor pajak yaitu terjadi penyimpangan uang yang dilakukan aparat negara di kantor tersebut. Dalam kasus penyimpangan uang pajak, bila para karyawan dan pejabat kantor sedang bernasib sial. Mereka bisa terkena OTT aparat penegak hukum yaitu dari aparat kepolisian, kejaksaan dan KPK. Mereka akan berstatus sebagai koruptor atas vonis hakim di kantor pengadilan negeri setelah terbukti valid berbuat melanggar hukum. Wallahu aklam
Jumat, 02 Februari 24
Sabdasheh
Oleh: Sheh Sulhawi Rubba
Editor: Abdul Chalim