Notification

×

Iklan

Iklan

Harga Beras di Wamena Jayawijaya Konon Likuran Ribu Rupiah

| Maret 03, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-03-04T05:33:46Z
tegursapanews -  Alkisah pada awal Desember 2019, kita pernah tawaf (keluyuran) di Lembah Baliem Wamena Jayawijaya Papua Pegunungan selama 3 hari. Hampir semua harga barang di sana lebih tinggi, jika dibandingkan harga di pulau Jawa, karena menggunakan transportasi udara. Kemarin kita beli beras premium di pasar tradisional Larangan Sidoarjo Jawa Timur dengan harga Rp 16.000/kg, sedangkan beras di Wamena konon Rp 24.000,- (selisih 8.000).

Tercatat dalam goresan sejarah nasional, bahwa masyarakat Suku Dani di Lembah Baliem baru mengenal sawah ladang sekitar tahun 1980 yang dirintis dinas pertanian Jayapura..Pada saat ini tercatat sekitar 300 hektar sawah yang disebut hamparan sawah yang tertinggi di Nusantara, yaitu berada di lokasi 1.650 mdpl. Sebelumya para petani di Papua Pegunungan hanya mengenal tanaman umbi-umbian seperti jenis tanaman Keladi, Singkong, Buah Merah dan lainnya.

Mungkin hanya segelintir orang yang sempat berpikir ketika sedang makan sepiring nasi di atas meja di dalam rumah. Kebanyakan orang tidak sempat menelusuri proses keberadaan Sepinggan Nasi di atas meja makan yang siap disantap. Kisah mulai dari usaha para petani yang mengolah tanah, tebar benih, bercocok tanam, pemeliharaan selama sekian bulan, kemudian baru bisa panen raya.

Kita sebagai warga negara yang lahir dan besar dari keluarga petani tradisional di dusun kecil Simpang Agung Merapi Timur Lahat Sumsel. Sejak masa kecil sampai remaja biasa cangkul tanah di sawah, bercocok tanam sampai panen padi setelah 6 bulan kemudian, terhitung sejak tahun 1960 sampai tahun 1974.

Kita merasakan kebahagiaan para petani di kampung halaman, ketika padi yang ditanam di sawah batangnya mulai kembung pertanda akan keluar kembangnya. Kemudian ketika masa panen, buah padi yang dituai dengan aniani tersebut dimasukkan ke dalam rungkuk dan karung, lalu dipikul ke kampung yang jaraknya dari sawah lebih dari 1000 meter.

Padi tersebut yang jumlahnya sekian ton, lalu disimpan di dalam gubuk kecil di samping rumah yang khusus dibangun petani sebagai tempat penyimpanan padi untuk stok makan selama setahun. Tempat penyimpanan padi itu disebut warga dengan istilah Tengkiang.

Kemudian proses berlanjut, yaitu buah padi di Tengkiang dirontokkan dari tangkainya dengan cara tradisional diinjak-injak dengan dua telapak kaki. Setelah itu butiran padi dijemur seharian di halaman rumah sampai kering di atas tikar yang disebut Adas. Setelah itu baru digiling dengan kayu Isaran di bawah rumah, lalu padi ditumbuk menjadi beras dengan antan di dalam lesung kayu. Setelah padi menjadi beras baru dimasak di dapur dengan puntung kayu dalam Gringsing yang akhirnya disebut nasi. 

Demikian percikan kisah abad lalu tentang proses buah Padi menjadi Beras dan Nasi. Status Nasi yang sudah siap dinikmati orang di dalam sebuah piring tersebut dalam bahasa Jawa disebut Sego. Dalam hal ini kita lalu menduga, bahwa istilah Sego tersebut berasal dari kata Sagu, makanan pokok warga Ambon Maluku dan warga Papua yang diambil dari Pohon Enau. Pertama kali kita menikmati Papeda (bubur Sagu) menu makanan khas Indonesia Timur, pada saat kita berada di kota Merauke Papua Selatan pada Agustus 2016.

Atas dasar sejarah nenek moyang bangsa Indonesia, bahwa leluhur kita di Jawa dan Sumatra sebelum mengenal tanaman padi yang dibawa dari India dan China. Mereka makan umbi-umbian dan sagu seperti budaya masyarakat Papua di Bumi Cendrawasih yang berdomisli di pedalaman selama ini. Status warga asli Papua adalah profil.museum hidup sejarah bangsa Indonesia selama sekian abad yang lalu. Barokallah Amien.

Senin, 04 Maret 24
Sabdasheh

Oleh: Sheh Sulhawi Rubba

Editor: Abdul Chalim
×
Berita Terbaru Update