Notification

×

Iklan

Iklan

Pertunangan Dalam Perspektif Fiqih dan Tradisi

| Maret 07, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-03-07T13:55:59Z


Oleh: Dr.(HC).KH.Aba Abror Al-Muqoddam, Lc.*

tegursapanews -  Dalam Islam, pernikahan merupakan suatu ikatan yang amat sakral, bahkan al-Qur’an menyebutnya sebagai “Mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang berat)”, maka tidak heran jika syariat mengatur dengan sangat jelas dan apik mengenai pernikahan ini, mulai dari hal-hal yang bersifat tekhnis hingga yang bersifat praksis. 

Salah satunya adalah dengan disyariatkannya khitbah (pertunangan) sebelum akad nikah dilaksanakan. Definisi Khitbah (Pertunangan)
Dalam hasyiyah  Durrul Mukhtar, Imam Ibnu ‘Abidin (ulama’ hanafiyah) menyebutkan bahwa khitbah adalah sebuah permintaan untuk menikah. 

Sedangkan menurut Imam Syarbini (ulama’ Syafi’iyah), khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang akan dipinang. 

Sedangkan menurut kompilasi hukum Islam (KHI), khitbah adalah kegiatan upaya upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.

Apabila kita  perhatikan dengan cermat, selain mempunyai kesamaan, terdapat perbedaan mendasar antara fuqaha’ dan Kompilasi Hukum Islam di dalam mendefinisikan khitbah. 

Definisi Kompilasi Hukum Islam lebih umum mencakup pihak pria dan wanita. Artinya yang mengajukan peminangan tidak melulu dari pihak pria, tetapi pihak wanita pun berhak mengajukan peminangan terlebih dahulu- seperti tradisi di Minangkabau. 

Berbeda dengan definisi para fuqaha’ yang berindikasi hanya pihak pria yang berhak melakukan peminangan terlebih dahulu.

Pada realitanya, sebenarnya dalam Islam sendiri tidak ada larangan perempuan yang mengajukan pinangan terlebih dahulu. Bahkan bisa jadi sangat  dianjurkan apabila pria yang hendak dipinang adalah orang yang shaleh, seperti dalam surat al-Qashash: 27 yang menceritakan seorang Nabi Syueb yang meminang Nabi Musa  untuk menikahi salah satu puteri beliau. 

Akan tetapi yang biasa di masyarakat adalah pihak pria yang meminang terlebih dahulu bukan wanita.

Definisi di atas sama-sama menegaskan bahwa peminangan bukanlah akad, melainkan sekedar sebuah komitmen (wa’d) atas kesungguhan untuk membangun sebuah keluarga bersama. 

Oleh sebab itu, peminangan tidak mengubah serta mengandung hukum apapun dan juga tidak mengikat. 

Dalam arti, kedua belah pihak sewaktu-waktu boleh dan bebas untuk memilih melanjutkan ke jenjang pernikahan atau membatalkannya.

Hukum dan Legislasi Peminangan
Legislasi peminangan dalam Islam di ekstrak dari al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Dalam al-Qur’an Allah menegaskan:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِيْ أَنْفُسِكُمْ                                                                      
“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati.” (QS. al-Baqarah: 235)

Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْءَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ                                                             
“Jika kalian meminang seorang perempuan, jika mampu untuk melihat sesuatu yang dapat membuat termotivasi untuk menikahinya maka lakukanlah.” (HR. Abu Daud)

Selanjutnya mengenai hukum meminang, para fuqaha’ berbeda pendapat dalam hal ini, menurut madzhab Maliki hukum meminang adalah sunnah, sedangkan menurut sebagian ulama’ Syafi’iyah hukum peminangan adalah mubah (Imam Nawawi Raudhatutthalibin), menurut pendapat ketiga hukum peminangan mengikuti hukum pernikahan. 

Dalam arti, ketika pernikahannya berhukum wajib maka peminangan hukumnya wajib, jika pernikahan sunnah, peminangannya juga sunnah, dan seterusnya (Al-Bujairimi ‘ala al Khatib).

Dari ke tiga pendapat di atas, pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum peminangan adalah sunnah. Hal itu karena dua alasan berikut: 

Pertama, karena Rasulullah SAW sendiri melakukannya dan dilestarikan oleh para generasih salafussaleh di mana mereka selalu melakukan peminangan sebelum melaksanakan pernikahan. 

Kedua, karena peminangan mengandung banyak kegunaan dan hikmah, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:

Pertama: memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu, kedua belah pihak dapat menentukan pilihan terbaik, antara melanjutkan ke jenjang pernikahan atau membatalkannya. 

Sebab pernikahan merupakan ikatan sakral dan mempunyai pengaruh besar. Oleh sebab itu, pernikahan harus dibangun di atas pondasi cinta dan keridhaan. 

Hal itu di antaranya bisa didapat melalui khitbah. Pada saat itu, laki-laki dan perempuan diperbolehkan saling memandang dalam rangka ta’aruf.

Kedua: dalam kaitannya dengan pernikahan, seorang perempuan tidak dapat memutuskan seorang diri, tetapi mesti melibatkan walinya. 

Maka syariat peminangan memberikan kesempatan kepada wali perempuan untuk menilai kualitas calon menantunya, toh seorang wali memiliki tanggung jawab untuk memilih calon terbaik bagi anaknya, utamanya dalam aspek agamanya.

Ketiga: biasanya setelah menikah seorang perempuan akan mengikuti dan tinggal bersama suaminya. Hal tersebut merupakan suatu yang tidak mudah dilakukan oleh semua perempuan, apalagi secara tiba-tiba. 

Karena itu, dengan adanya syariat peminangan, perempuan mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun mental.

Metode Peminangan
Terdapat dua metoda dalam peminangan, yaitu:

1. Menggunakan ungkapan yang terus terang (kalimat shoreh). Seperti: “Saya ingin menikahi kamu”.

2. Menggunakan ungkapan sindiran (kinayah). Semisal: “Aku mencari calon istri seperti dirimu”

Kedua metoda di atas, sama-sama dapat digunakan terhadap perempuan yang masih belum pernah menikah, dan perempuan yang tidak sedang menjalani masa iddah. Jika dalam keadaan masa iddah maka ada pengklasifikasiannya. 

Bila dalam masa iddah wafat (suaminya meninggal) maka peminangannya dengan metoda pertama hukumnya haram, tetapi boleh dengan menggunakan metoda ke dua. Jika dalam masa iddah talak (diceraikan) maka bila berupa talak raj’i (talak satu atau dua) tidak boleh meminangnya sama sekali baik ungkapan terus terang maupun sindiran. 

Namun jika berupa talak ba’in (talak tiga), menurut mayoritas ulama’ boleh meminangnya, baik dengan ungkapan terus terang maupun dengan sindiran.

Peminangan juga tidak boleh dilakukan kepada perempuan yang sudah menerima pinangan orang lain, baik dengan cara terus terang maupun melalui sindiran. 

Boleh meminangnya dengan catatan peminang sebelumnya sudah membatalkan. Rasulullah SAW menegaskan:
لَا يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ                                                                             
“Janganlah salah satu dari kalian meminang pinangan saudaranya, sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya.” (HR. Bukhari)

Pertunangan dalam Tradisi Seperti telah dijelaskan di awal bahwa pertunangan adalah kegiatan pranikah guna mencari calon yang tepat. Ia bukan akad, melainkan sekedar komitmen atas kesungguhan dan keseriusan membangun rumah tangga bersama. 

Oleh sebab itu, pertunangan sama sekali tidak mengubah hukum yang telah ada dan juga tidak mengandung hukum yang mengikat. Dalam arti, kedua calon mempelai belum boleh melakukan hal-hal yang boleh dilakukan oleh suami-istri dan keduanya juga bebas untuk memilih meneruskan atau membatalkan pertunangan.

Sementara itu praktiknya dalam amsyarakat, pertunangan telah banyak mengalami akulturasi dengan tradisi dan budaya lokal maupun asing. Tradisi tersebut ada yang sesuai dengan syariat Islam dan ada juga yang tidak sesuai. 

Di antaranya adalah tradisi memberikan mahar ketika pertunangan, baik sebagian maupun seluruhnya. Tradisi ini tidak menyalahi syariat Islam. Dalam Islam kita boleh memberikan mahar terlebih dahulu sebelum akad nikah dilangsungkan.

Hanya saja, ketika peminangan tersebut batal, bagaimana dengan status mahar yang diberikan ketika pertunangan? Apakah boleh diambil kembali atau menjadi hak perempuan?

Para fuqaha’ telah sepakat bahwa mahar yang diserahkan terlebih dahulu saat pertunangan boleh diminta kembali, baik pembatalan itu bersalah dari pihak laki-laki maupun berasal dari pihak perempuan. 

Dan jika ternyata mahar itu telah habis atau digunakan maka dapat dikembalikan dalam bentuk nominal atau dengan barang yang serupa. 

Demikian itu karena pertunangan itu bukanlah akad, selama tidak terjadi akad maka mahar yang diserahkan saat pertunangan murni hak pihak laki-laki, sehingga harus dikembalikan. Berbeda dengan pemberian berupa hadiah, maka tidak boleh diambil kembali karena sudah menjadi hak pihak perempuan.

Editor: Abdul Chalim

* Alumni Universitas Al-Azhar Mesir, Dr (Hc) Universal Institute of Professional Management (UIPM) Malaysia. 


U I P M
×
Berita Terbaru Update