Notification

×

Iklan

Iklan

Tradisi Para Urban dan Transmigran Setiap Kali Hari Lebaran

| April 09, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-04-09T17:14:06Z
tegursapanews -  Alkisah pada tahun 1960an, kita mengenal beberapa orang karib kerabat di kampung Simpang Agung Merapi Lahat yang berstatus sebagai urbanisasi yang sukses sebagai pedagang di Pasar baru kota Lahat yang namanya Tn Aswadi, Tn Syafei dan para perantau yang lainnya di pelbagai kota di wilayah Sumatra Selatan.

Mereka itu setiap tahun pada saat datangnya hari raya Iedul Fitri seperti pada saat ini pulang ke kampung halaman beberapa hari untuk berkumpul kembali bersama sanak saudara dan handai tolan. Hal tersebut sekarang populer dengan istilah mudik. Setelah itu, mereka berangkat lagi ke tanah rantau untuk mengais rizki yang halal dengan beragam profesi, seperti biro jasa dan pegawai negeri.

Kemudian setelah mereka berusia di atas lima puluh tahun dan kedua orangtuanya sudah meninggal dunia di kampung halaman. Ketika mereka sudah pensiun dan punya menantu dan cucu, seperti Tn Zawawi Madalang di ibukota Jakarta. Justru mereka menunggu kehadiran anak cucunya yang datang pada saat lebaran di rumahnya sendiri.

Dari ribuan macam etnis di wilayah Nusantara yang terkenal sebagai perantau (urban dan transmigran) di pelbagai pelosok negeri tercatat etnis Minang di Sumatra Barat, etnis Bugis di Sulawesi Selatan, etnis Madura di Jawa Timur, etnis Batak di Sumatra Utara, etnis Jawa dan etnis lainnya.

Kemarin kita baru tahu, bahwa etnis terbesar di sepanjang pulau Sumatra adalah etnis Jawa yang tercatat sebanyak 40 persen dari jumlah populasi 38 juta orang. Konon Etnis Jawa yang berada di pulau Sumatra sejak zaman kerajaan Sriwijaya pada abad ke 7. 

Kemudian pada zaman Hindia Belanda etnis Jawa berstatus sebagai transmigran yang bekerja di perkebunan teh dan di berbagai perusahaan Hindia Belanda lainnya, seperti perusahaan Tambang Batu Bara di Tanjung Enim Sumatera Selatan. Selain bekerja di proyek infrastruktur seperti membuat jalan raya dan rel kereta api pada abad ke 19.

Alkisah ketika kita keluyuran di Sulawesi Utara pada tahun 2017, kita sempat bertemu dengan puluhan etnis Jawa tetesan darah Pangeran Diponegoro putra Selir dari Tn Sri Sultan Hamengku Buwono III dan jamaahnya Kiaji Modjo yang diasingkan Kolonial Belanda di sebuah kampung terpencil di Tondano Minahasa Sulut pada abad ke 19.

Anak cucu mereka yang disebut Jaton (Jawa Tondano) merantau ke berbagai kota di Pulau Jawa dan beragam kota lainnya di Nusantara, termasuk yang ke luar negeri. Pada saat lebaran hari raya Iedul Fitri, mereka itu mudik ke kampung leluhurnya di Tondano Minahasa Sulawesi Utara, bukan ke Yogyakarta dan Jawa Tengah lagi.

Pada saat ini para perantau yang sukses, ketika mudik untuk berkumpul kembali dengan orang tua dan karib kerabat. Mereka bawa kendaraan milik pribadi seperti sepeda motor dan mobil beragam merk buatan Jepang melewati jalan nasional dan jalan tol sepanjang ratusan dan ribuan kilometer. 

Selain itu sebagian dari mereka naik kereta api, bis umum, pesawat terbang dan kapal laut. Jumlahnya sudah jutaan orang, sehingga dilaporkan oleh awak media terjadi kemacetan di pelbagai tempat, seperti kasus belasan kilometer mobil antrian di pelabuhan Merak Banten dan di pelabuhan Bakauheni Lampung.

Akhirul qalam, terucapkan kalimat di hari raya Iedul Fitri "Taqobbalallahu minna wa minkum, taqabal ya Kariem dan Mohon maaf lahir batin". Barokallah Fina kulluhuhum.

Selasa, 09 April 24 
01 Syawal 1445 H
Sabdasheh

Editor: Abdul Chalim

Oleh: Sheh Sulhawi Rubba
×
Berita Terbaru Update