tegursapanews.Com - Alkisah pada tahun 2013, seusai kita manasik haji di Padang Arafah Makkah. Program Safari ke tanah suci berlanjut ke kota Madinah untuk melaksanakan Salat Arbain (40 waktu) selama 8 hari. Pada saat itu, kita sempat bertemu dan ngobrol dengan seorang jamaah haji asal dari Provinsi Aceh, karena posisi kamar tidur kita di hotel jejer di satu jalur keluar masuk naik turun.
Kita ingat kisah tersebut, karena sore ini kita menyaksikan laporan wartawan di layar kaca tentang jamaah haji asal Aceh mendapatkan uang sadakah wakaf dari Baitul Asyi (Yayasan Habib Abdurrahman Alwi al-Habsyi) di Makkah, memasing jamaah haji terima uang SAR 1.500,-. Nilai jumlah uang tersebut setara dengan nilai uang Garuda Rp 6.500.000,- atas dasar kurs riyal Arab Saudi Rp 4.327,-
Kalau saja kita boleh menghitung jumlah nilai uang sadakah wakaf dari Baitul Asyi ke para jamaah haji asal Aceh yang berjumlah 4.850 orang, totalnya SAR 7.275.000,- Jika dikurskan ke uang Garuda 7.275.000 x Rp 4 327 = Rp. 31.478.926.000,- (nilainya hampir Rp 32 M). Aktivitas pemberian sadakah wakaf tersebut sudah berjalan selama 18 tahun sejak tahun 2006 setelah tragedi Tsunami di Aceh.
Banyak cerita yang kita dengar dari jamaah haji asal Aceh tersebut ketika kita ngobrol di lobby hotel Madinah, seperti kisah pilu tentang warga negara yang terseret arus Tsunami. Katanya, semua kondisi mayat yang ditemukan dalam kondisi tanpa busana. Timbul pertanyaan di dalam hati kenapa demikian ?
Mungkin atas dasar beragam cerita tentang masalah Aceh tersebut termasuk kisah jihad perjuangan GAM di Serambi Makkah. Muncul pikiran dan keinginan kita untuk melancong ke Banda Aceh yang disebut Tanah Rencong. Sebelumnya pada tahun 1992, kita ada peluang yang terabaikan program studi Pascasarjana di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Alkisah pertama kali kita menginjakkan kaki di Aceh yang disebut Serambi Makkah bertemu karib kerabat Tn Edi Darmawijaya dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang lahir di Simpang Agung Merapi Lahat, Saat itu kita terbang dari Bandara Juanda Surabaya ke Batam dan transit di Bandara Kualanamu Medan Sumut pada tahun 2014. Kemudian yang kedua kali, kita terbang dari Juanda ke Kuala lumpur Malaysia baru terbang lagi ke Banda Aceh pada tahun 2017, karena harga tiket pesawat Air Asia lebih murah, Rp 2.500.000 pulang pergi.
Alhamdulillah selama di Banda Aceh, kita pernah melihat beberapa orang warga Aceh yang melanggar syariat Islam dihukum cambuk algojo beberapa kali di atas panggung halaman masjid sebelum waktu Salat Jumat. Status hukuman satu kali cambuk setara dengan hukuman kurungan penjara selama sebulan.
Kemudian hal yang menarik pada setiap kali datang musim haji, jumlah Sapi yang dipotong warga Aceh sebelum hari raya Iedul Adha lebih banyak dari jumlah hewan qurban. Kisah itu ditemukan di Tanah Rencong sebagai tradisi Islam yang sudah turun temurun. Pada malam takbiran semua warga muslim di Aceh sudah makan daging Sapi.
Masyarakat Aceh membeli daging Sapi di pasar dadakan tanpa harus menunggu jatah pembagian daging hewan qurban dari panitia takmir masjid. Lelaki yang berstatus sebagai kepala keluarga tidak akan pulang ke rumah sebelum hari raya tanpa membawa daging Sapi walau hanya seperempat kilogram.
Tradisi tersebut dinamakan budaya Megengan yang diawali sejak kedatangan ulama dari Timur Tengah yang membawa ajaran Islam ke Tanah Aceh, hingga Aceh disebut Serambi Makkah. Barokallah Amien.
Senin, 03 Juni 24
26 Zulkaidah 45
Sabdasheh
Editor: Abdul Chalim
Oleh: Sheh Sulhawi Rubba