Notification

×

Iklan

Iklan

Budaya Baca Tulis Termasuk Terapi Kepikunan Di Hari Tua

| Agustus 30, 2024 WIB | 0 Views Last Updated 2024-08-30T11:20:27Z

Tegursapanews.com - Budaya Baca Tulis:  Salah seorang tokoh Muhammadiyah etnis Minang yang tinggal di Yogyakarta bernama al-maghfur Tn Syafii Maarif (1935 - 2022) yang dipanggil Buya seperti Buya Hamka. Beliau setiap hari membaca buku dan menuliskan apa saja yang dibacanya. Budaya tersebut adalah Terapi Kepikunan di hari tua.

Awal bulan Juli yang lalu, kita semalam berada di Yogyakarta, kita bertemu karib kerabat yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika kita ngobrol dan guyonan dengan karib kerabat yang datang dari Lahat Sumsel Tn Aliansyah Supri al-Basri untuk menghadiri acara akad nikah dan resepsi putra Tn Herwan Syah Supri pada tanggal 02 Juli 2024.

Pada saat itu, Tn Ali Supri bercerita bahwa ayah kandungnya Tn Supri al-Basri nikah pertama kali dengan saudara perempuan Tn Badaruddin dan Tn Mohammad Ali yang dipanggil warga dengan Madeli. Kemudian mereka cerai hidup dan nikah lagi dengan Pn Arinap kelahiran Desa Nanjungan, yang terakhir dia melahirkan Pn Meliyati dan yang pertama Pn Rusmawan.

Selama ini kita tidak tahu kisah cinta tersebut. Namun kita kenal baik dengan Tn Muhammad Ali yang dipanggil adeksanak dan apitjurai di dusun Simpang Agung Merapi dengan sebutan Bapang Kamil. Nama Tn Kamil tersebut adalah putra pertama beliau dari perkawinan dengan Kembang Desa Pn Ning Inun.

Alkisah setiap kali kita umrah ke dusun Simpang Agung Merapi Lahat Sumsel, kita selalu bertemu beliau di Masjid Nurul Hidayah dan kita berjabat tangan dan ngobrol singkat tentang berita gembira di kampung halaman.

Jika saja Tn Mohammad Ali tersebut lahir pada tahun 1947 di Gedung Agung, berarti usianya pada saat ini sudah 77 tahun. Beliau tampak tetap sehat dan energik dalam status lansia. Mungkin karena statusnya sebagai petani tradisional dan setiap hari beliau selalu berpikir positif terhadap segala hal.

Tradisi para petani di kampung, mereka itu terbiasa berjalan kaki sekian kilometer tanpa sandal dan sepatu, seperti yang sering kita lihat pada saat mereka pulang pergi ke kebun karet untuk Nabah Balam pada tahun 1960an. Selain bercocok tanam padi di tengah sawah dan usaha perkebunan lainnya.

Puluhan orang karib kerabat kita di kampung leluhur yang tetap sehat walafiat setelah melewati usia 70 tahun. Antara lain Tn Asyirin Anas, Tn Sehardin, Tn Khairullah, Tn Sehadin, Tn Sehudin dan sederet nama yang lainnya, termasuk Tn Burgani Belandang di dusun Masam Kelat alias Gedung Agung Darat.

Kita faham, bahwa mereka itu setiap hari minum kopi hitam pagi sore dengan lauk pauk Pisang Goreng tanamannya sendiri di kebun. Mereka tidak pernah mabuk sepanjang hayat, tidak seperti kebiasaan warga Papua yang terbiasa minuman beralkohol yang dibolehkan dalam ajaran agama Kristen. Hal tersebut salah satu warisan budaya kolonial Belanda di Bumi Cenderawasih. Barokallah Amien.

Kamis, 29 Agustus 24 
Sabdasheh

Editor: Abdul Chalim

Oleh: Sheh Sulhawi Rubba
×
Berita Terbaru Update