Notification

×

Iklan

Iklan

Gestalt - Top Dog Dan Under Dog

| Januari 18, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-01-18T16:16:08Z


Oleh: Yusdi Lastutiyanto*


tegursapanews.com - Restart: Hari ini, saya menonton sebuah video konferensi pers yang diselenggarakan oleh Kepolisian di YouTube tentang pembunuhan Sandy Permana oleh tetangganya, Nanang Gimbal. Berita itu membuat saya terdiam dan mengamati lebih dalam. Alasannya sederhana, tapi sekaligus sangat kompleks, Nanang membunuh Sandy karena sakit hati yang dipendam selama bertahun-tahun. Saya mulai bertanya-tanya, bagaimana dendam bisa tumbuh begitu besar hingga seseorang memutuskan untuk mengambil nyawa orang lain?


Dari fenomena yang terjadi bisa disimpulkan bagaimana perselisihan kecil yang berulang kali, bisa berubah menjadi dendam kesumat. Nanang menceritakan tatapan sinis, kata-kata yang dirasa merendahkan, hingga peristiwa-peristiwa lama seperti penebangan pohon di pekarangannya, membuat amarah itu menjadi bara yang terus menyala.


Saat mendengarkan ceritanya, saya tiba-tiba teringat sebuah pelajaran dari teori Gestalt tentang Top Dog dan Underdog. Teori ini menggambarkan konflik internal dalam diri seseorang.


Top Dog adalah suara otoritas dalam diri kita. Ia bertugas menjaga kita tetap rasional, memberi arahan, dan mengendalikan dorongan emosional. Namun, di sisi lain ada Underdog, bagian yang terluka, merasa lemah, atau bahkan ingin memberontak.


Konflik Top Dog dan Underdog pada Nanang


Dalam kasus Nanang, Underdog tampaknya sudah lama berbisik, "Aku direndahkan. Aku tak dihargai. Aku harus melakukan sesuatu." Setiap penghinaan dan perselisihan dengan Sandy seperti memberi makan Underdog dalam dirinya. Tetapi di mana Top Dog?


Dari kacamata Fritz Perls, tokoh Gestalt yang mencetuskan teori ini, seharusnya, di saat-saat kritis, Top Dog muncul dan berkata, "Jangan biarkan rasa sakit hati ini menguasaimu. Kamu bisa mengatasinya dengan cara yang lebih baik." Tapi pada pagi itu, ketika Nanang melihat Sandy meludah ke arahnya, Underdog mengambil kendali penuh. Dorongan untuk membalas dendam begitu kuat hingga menutup akal sehatnya.


Apa yang Bisa Kita Lakukan dengan Rasa Dendam?


Fenomena ini mengingatkan saya betapa bahayanya jika kita tidak mengenali konflik dalam diri kita. Dendam atau sakit hati yang tidak diselesaikan bisa menjadi bom waktu. Mungkin tidak selalu meledak dalam bentuk kekerasan seperti pada kasus ini, tetapi tetap saja, ia akan menghancurkan, entah hubungan kita dengan orang lain atau kedamaian dalam diri kita sendiri.


Jika Anda merasa pernah mengalami rasa sakit hati atau dendam, cobalah untuk bertanya pada diri sendiri:


1. Apa yang sebenarnya saya rasakan?

Akui perasaan Anda. Sakit hati itu wajar, tetapi penting untuk menyadari apa yang Anda rasakan sebelum perasaan itu tumbuh menjadi dendam.


2. Apa dampaknya bagi hidup saya?

Apakah menyimpan dendam membuat Anda merasa lebih baik, atau justru sebaliknya?


3. Apa yang bisa saya lakukan untuk melepaskannya?

Jika tidak bisa berdamai dengan orang yang membuat Anda terluka, cobalah cara lain. Menulis di jurnal, berbicara dengan seseorang yang Anda percayai, atau bahkan memaafkan dalam hati bisa menjadi langkah awal.


Tips untuk Mengatasi Dendam


1. Kenali dan terima emosi Anda.

Jangan menekan perasaan sakit hati. Underdog dalam diri Anda hanya akan semakin besar jika terus diabaikan.


2. Ciptakan ruang untuk refleksi.

Tanyakan pada diri Anda, apa yang sebenarnya Anda inginkan? Apakah balas dendam akan memberi solusi, atau justru semakin merusak?


3. Bangun kekuatan Top Dog.

Jadilah pemimpin bagi diri Anda sendiri. Gunakan logika dan rasionalitas untuk mengontrol emosi yang destruktif.


4. Belajar melepaskan.

Memaafkan bukan berarti melupakan, tetapi melepaskan diri dari belenggu dendam. Ini bukan untuk orang lain, tetapi untuk kebaikan Anda sendiri.


Kesimpulan


Dari fenomena ini, saya belajar bahwa dendam bisa menjadi seperti api kecil yang lambat laun membakar seluruh diri kita. Kasus Nanang dan Sandy adalah pengingat akan pentingnya mengenali konflik dalam diri kita sebelum emosi negatif mengambil kendali.


Jadi, saya bertanya kepada diri saya sendiri dan kepada Anda, Apakah ada dendam atau sakit hati yang masih tersimpan dalam hati Anda? Bagaimana jika Anda melepaskannya?


Pada akhirnya, kita adalah penguasa dari diri kita sendiri. Jangan biarkan Underdog menguasai segalanya.


*Instructor NLP di IHC & LOA di Jakarta


Editor: Abdul Chalim

×
Berita Terbaru Update