Oleh: Yusuf Amrozi *
tegursapanews.com - Entah mengapa saya tergerak ingin menulis seputar Oksidentalisme dan Orientalisme. Mungkin karena lamunan semata atau karena kegelisahan akan potret dan realitas khususnya Islam dewasa ini. Namun demikian faktanya memang sejarah panjang sejak lahirnya Islam sebagai agama yang relatif baru ini serta dominasi Barat masih menjadi dasar munculnya dikotomi Oksidentalisme dan Orientalisme tersebut.
Memang dikotomi Barat dan Timur dalam konteks geopolitik global saat ini sudah berbeda jauh dibanding era pasca abad pertengahan hingga berakhirnya kolonialisme global di abad 20 itu. Namun demikian tidak terlalu salah pula jika kita membuat “garis demarkasi” dalam konteks budaya serta historis antara Barat dan Timur, dan Turki sering disebut menjadi garis demarkasi bayn al-masyriq wa al-maghrib.
Sebagaimana diketahui term Oksidentalisme adalah lahir dari respon terhadap munculnya term Orientalisme. Orientalisme merujuk pada suatu pandangan yang menjadikan Timur sebagai suatu identitas dari suatu entitas yang berbeda dengan Barat. Oleh Barat, Timur dipandang sebagai sesuatu yang non rasional, sesuatu yang mistisisme. Demikian juga Timur menjadi ladang yang empuk bagi negara negara di Eropa untuk dijadikan area eksplorasi (dan eksploitasi) yang ditandai dengan kolonialisme global selama berabad-abad.
Dari adanya term tersebut, tidak sedikit yang mengulas tentang Orientalisme tersebut. Termasuk upaya solidaritas akan hal itu. Adalah Edward W. Said diantaranya. Edward W. Said merupakan akademisi dan kritikus sastra yang lahir di Yerusalem, Palestina dan menghembuskan nafas terakhirnya di Amerika.
Dalam bukunya Orientalism (1978), ia mengkritik cara pandang Barat terhadap Timur (Orient). Ia berpandangan bahwa Orientalisme adalah sistem representasi yang dibentuk oleh kekuatan politik Barat untuk menggambarkan Timur sebagai inferior. Sesuatu yang dianggab stagnan dengan segala steriotif kemundurannya. Dengan demikian hal itu seolah menjustifikasi Barat untuk melakukan imperialisasi di kawasan Timur.
Said dengan tegas menunjukkan bahwa bagaimana karya buku, sastra, jurnalistik, maupun produk akademik Barat lainnya sering kali menciptakan gambaran yang tidak akurat tentang Timur, yang kemudian memperkuat stereotip yang minor terhadap Timur.
Kemunculan tesa Orientalisme yang demikian panjang tersebut, seolah menemukan momen untuk menemukan antitesa. Dan Oksidentalisme adalah antitesa terhadap itu. Apakah benar hal itu sebagai kanter apologetik terhadap pandangan Orientalisme tersebut? Terlepas iya atau tidak, munculnya term Oksidentalism dengan segala argumennya patut untuk dikaji, termasuk kontekstualisasi di era kekinian.
Memang term Oksidentalisme tidak lepas dari nama Hassan Hanafi. Sosok pemikir asal Mesir yang memulai karir akademiknya di Universitas Kairo, yang akhirnya mematangkan reputasi akademiknya di Universitas Sorbonne Paris. Dia “berhijrah” ke Sorbonne untuk melanjutkan studi S2 dan S3 juga karena alasan “kebebasan akademik” serta untuk menemukan petualangan baru di bidang filsafat dan sastra.
Ia mencetuskan ide tentang Oksidentalisme sebagai tanggapan terhadap Orientalisme, yang tujuan untuk mengkaji Barat dari perspektif Timur. Hanafi memandang bahwa Oksidentalisme merupakan upaya untuk menyeimbangkan hubungan antara Timur dan Barat, menghapus dominasi budaya Barat, dan menciptakan dialog yang lebih setara antar kedua peradaban tersebut. Ia juga membuat term ‘Kiri Islam’ (Islamic Left) untuk memberi aksentuasi beragama secara lebih progresif.
Dengan Oksidentalisme, Hanafi ingin hal itu sebagai alat untuk membebaskan Timur dari dominasi budaya dan intelektualitas Barat. Ia menekankan pentingnya membaca tradisi Barat secara kritis, bukan untuk melakukan replikasi ataupun menolak sepenuhnya. Dengan adanya dialog yang saling mengisi antar kedua peradaban tersebut akan memungkinkan paradigma baru yang lebih egaliter dalam konteks geopolitik global dan civilization.
Didalam bukunya Pengantar Oksidentalisme (muqaddimah fi ‘ilm al-istighrab), Hanafi mengemukakan pandangan seputar al-turats wa al-tajdid (tradisi dan pembaruan). Ada tiga hal yang Ia kemukakan, yaitu; pandangan tentang tradisi lama, kritik terhadap Barat, serta pandangan terhadap realita kekinian.
Dalam hal pandangan terhadap tradisi lama, Hanafi mengajak kepada kita bagaimana bergeser dari pandangan teologis ke aksi, dari sekedar transferensi menuju inovasi, dari teks ke realita, harmoni antara akal dan alam, serta konsep manusia dan sejarahnya. Pun demikian, ia juga mengulas konsep kefanaan menuju keabadian.
Dalam hal kritik terhadap Barat, Hanafi mengutarakan bagaimana hal ikhwal sumber literasi peradaban Eropa, permulaan kesadaran Eropa serta akhir dari kesadaran Eropa. Pada sisi ini Hanafi menjelaskan bagaimana tradisi Romawi-Yunani membentuk kesadaran Barat, filsafat skolastik hingga reformasi agama serta masa renaisans. Sementara proyek ketiga Hanafi dari al-turats wa al-tajdid tersebut adalah tentang sikap kita terhadap realita. Ia mengemukakan kritik terhadap metodologi atau cara pandang baru dalam melihat realita serta penafsiran terhadap al-kitab.
Dari apa yang dikemukakan oleh Hanafi tersebut akhirnya memunculkan dikotomi antara kita (ego) dengan pihak lain (the other), yang hal itu untuk mendialogkan ‘kita’ dengan segala entitas budaya serta primordialitasnya dengan ‘pihak lain’. Proyek Hanafi melalui Oksidentalisme-nya ini disatu pihak dipandang ingin mengusulkan dialog dan kesetaraan antar budaya, tetapi yang merasa sinis menganggapnya sebagai sesuatu yang justru akan dapat mengisolasi dialog antar peradaban.
Namun demikian terlepas dari akar tradisi lama baik di Barat dan Timur, dengan segala “benturan” baik di internalnya maupun antar keduanya, paling tidak apa yang digagas oleh dua orang yang saya kemukakan diatas: Edward Said dan Hassan Hanafi tersebut patut diapresasi. Meski kemudian konteks zaman telah berubah. Mungkin tetap saja ada sikap skeptis terhadap Timur, atau sebaliknya rasa apriori terhadap Barat.
Revolusi digital yang melepaskan batas-batas budaya dan apapun itu toh tetap saja meninggalkan culture shock. Ketertinggalan penguasaan ekonomi dan teknologi, termasuk di sebagian kawasan Timur serta di sejumlah belahan Selatan menyisakan riak-riak sosial yang terekpresikan melalui semangat primordialisme keyakinan maupun kelompok.
Oleh sebab itu rasanya praktik humanisme global di era Artificial Intelligence dewasa ini seolah telah meruntuhkan serta menggagalkan proyeknya Hassan Hanafi maupun rasa emansipasinya Edward W. Said tersebut. Dengan demikian kita patut bertanya: masih relevankah kita berbicara tentang Oksidentalisme dan Orientalisme saat ini? Untuk sementara lupakan itu..! Mari bermaaf-maafan. Selamat Aidul Fitri 1446 Hijriyah.
* Penulis adalah Staf Pengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya
Editor: Abdul Chalim