Oleh: Dr. Muhammad Ghufron, Lc., M.H.I*
tegursapanews.com - Puasa: Ramadan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga momentum refleksi moral bagi bangsa. Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia, salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah korupsi. Dari kasus suap hingga penyalahgunaan jabatan, praktik ini terus menggerogoti kepercayaan publik dan menghambat kemajuan negara.
Namun, Ramadan mengajarkan sesuatu yang berharga: kedisiplinan, kejujuran, dan pengendalian diri—nilai-nilai yang, jika diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat menjadi senjata ampuh dalam melawan korupsi.
Puasa: Latihan Jujur Tanpa Pengawasan
Salah satu aspek utama puasa adalah kejujuran. Tidak ada yang bisa memastikan seseorang benar-benar berpuasa kecuali dirinya sendiri dan Allah. Seseorang bisa saja makan atau minum secara diam-diam, tetapi puasa melatih manusia untuk jujur meskipun tanpa pengawasan.
Inilah yang hilang dari banyak pejabat korup: mereka hanya takut jika ada yang melihat. Mereka merasa aman selama tidak tertangkap. Padahal, integritas bukan soal takut tertangkap, tetapi soal kesadaran bahwa kejujuran adalah bagian dari nilai diri.
Dalam Teori Kontrol Sosial yang dikembangkan oleh Travis Hirschi, seseorang cenderung menghindari kejahatan jika memiliki keterikatan yang kuat dengan nilai moral dan sosial. Puasa menanamkan nilai-nilai tersebut, membangun karakter yang lebih bertanggung jawab, dan tidak mudah tergoda oleh godaan duniawi.
Puasa dan Pengendalian Diri: Kunci Antikorupsi
Korupsi sering kali lahir dari ketidakmampuan mengendalikan nafsu kekuasaan, harta, dan keserakahan. Ramadan hadir sebagai latihan spiritual yang menekan ego dan melatih kesederhanaan.
Puasa mengajarkan seseorang untuk menunda kepuasan, mengontrol diri dari keinginan instan, dan membangun disiplin diri. Jika prinsip ini diterapkan dalam pengelolaan negara, pejabat akan lebih mampu menahan godaan uang haram dan menyadari bahwa harta bukanlah tujuan utama kehidupan.
Dalam Teori Perilaku Berencana (Ajzen, 1991), disebutkan bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh sikap, norma sosial, dan kontrol diri. Jika seseorang memiliki sikap yang kuat terhadap kejujuran, didukung oleh lingkungan yang menolak korupsi, serta merasa mampu menghindari tindakan koruptif, maka peluangnya untuk tetap jujur akan lebih besar.
Ramadan dan Reformasi Sosial
Selama Ramadan, masyarakat Indonesia menunjukkan perubahan yang signifikan: lebih disiplin, lebih peduli, dan lebih bertanggung jawab. Jalanan lebih tertib saat sahur dan berbuka, sedekah meningkat, dan solidaritas sosial menguat.
Jika pola ini bisa bertahan sepanjang tahun, maka pemberantasan korupsi bukan sekadar tugas aparat hukum, tetapi juga gerakan sosial yang didukung oleh seluruh masyarakat.
Kita sering mendengar bahwa korupsi adalah “budaya” di Indonesia. Tetapi Ramadan membuktikan bahwa budaya bisa diubah. Jika selama sebulan penuh masyarakat bisa lebih jujur, lebih tertib, dan lebih peduli, maka tidak ada alasan bahwa perubahan ini tidak bisa menjadi permanen.
Dalam Teori Habitual Corruption (Bo Rothstein & Eric Uslaner), disebutkan bahwa korupsi berkembang dalam masyarakat yang terbiasa dengan praktik tersebut. Jika korupsi sudah dianggap “biasa”, maka individu di dalamnya cenderung mengikuti. Namun, Ramadan memberi kesempatan untuk mengubah kebiasaan itu.
Kesimpulan: Ramadan, Integritas, dan Masa Depan Bangsa
Puasa bukan hanya ibadah individu, tetapi juga pelajaran sosial tentang bagaimana sebuah bangsa bisa lebih berintegritas. Jika semangat Ramadan diterapkan dalam tata kelola negara, kita tidak hanya berpuasa dari makanan dan minuman, tetapi juga dari segala bentuk ketidakjujuran dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pemberantasan korupsi bukan hanya soal hukuman, tetapi soal membangun karakter bangsa. Dan Ramadan mengajarkan kepada kita bahwa perubahan besar selalu dimulai dari diri sendiri.
*Dosen Syari'ah UINSA Surabaya
Editor: Abdul Chalim